Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan perawi perawinya yang adil dan sempurna kedlobitannya, tidak syadz dan tidak mengandung illat yang merusak keabsahannya.
Definisi ini memberikan kepada kita faidah bahwa hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya 5 syarat:
Syarat pertama: Bersambung sanadnya, dari awal sanad sampai akhir sanad.
Kebersambungan sanad ada yang sharih (jelas) yaitu dengan menggunakan lafadz yang menunjukkan kepada mendengar atau mengambil langsung dari gurunya seperti lafadz: haddatsana, akhbarona, sami’tu dan semacamnya.
Ada juga yang tidak shorih, yaitu dengan menggunakan lafadz yang mengandung ihtimal (kemungkinan) mendengar atau tidak, seperti lafadz ‘an (dari), dan qoola (ia berkata).
Lafadz yang tidak shorih ini dianggap bersambung bila:
1. Perawinya tidak mudallis. Akan dibahas makna mudallis pada tempatnya in sya Allah.
2. Ada kemungkinan besar bertemu, seperti se-zaman dan satu daerah dan sebagainya.
Jika perawinya mudallis maka tidak diterima periwayatannya dengan menggunakan lafadz ‘an atau qoola. Dan diterima bila menggunakan lafadz yang shorih seperti haddatsana, bila perawi mudallis ini tsiqoh. Kecuali bila perawi mudallis ini amat banyak meriwayatkan dari seorang syaikh maka perbuatan para ulama menunjukkan tetap diterima seperti periwayatan Al A’masy dari Ibrahim An Nakho’iy dan sebagainya.
Demikian pula tidak diterima bila ada indikasi atau pernyataan ulama bahwa perawi tersebut tidak mendengar dari syaikhnya.
Syarat kedua: Perawinya adil.
Disebut adil apabila memenuhi lima syarat:
1. Muslim. Maka periwayatan orang kafir tidak diterima, kecuali bila ia masuk islam dan meriwayatkan apa yang ia dengar di saat kafir setelah islamnya.
2. Baligh. diterima Apa yang ia dengar di saat belum baligh lalu disampaikan setelah baligh.
3. Berakal.
4. Tidak fasiq. Yaitu pelaku dosa besar atau pelaku bid’ah. Adapun pelaku dosa besar maka tidak boleh diterima secara mutlak. Sedangkan pelaku bid’ah dapat diterima jika ia tsiqoh, amanah, dan tidak menghalalkan dusta.
5. Tidak melakukan khowarim almuruah. Seperti terbiasa meninggalkan sunnah muakkadah, atau melakukan adab adab yang buruk.
Syarat ketiga: Dlobith
Dlobith artinya menguasai hadits yang ia riwayatkan dan selamat dari kesalahan atau kelalaian.
Dlobith ada dua macam:
1. Dlobith shodr : menguasai hadits dengan hafalan dan hafalannya tidak berubah sampai akhir hayatnya. bila berubah maka periwayatan setelah berubah tidak diterima.
2. Dlobith kitab : menguasai dengan kitab, dimana ia memiliki catatan yang selamat dari kesalahan dan telah dimuqobalah dengan kitab asalnya.
Sebagian perawi hadits ada yang diterima periwayatannya bila meriwayatkan dari hafalan tapi tidak diterima bila meriwayatkan dari catatan. Sebagian lagi ada yang sebaliknya. Dan ada juga yang diterima dari keduanya.
Bagaimana mengetahui kedlabitan perawi?
Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kedlabitan perawi, yaitu:
Pertama: Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain yang terkenal ketsiqahan dan ke-dhabit-annya.
Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan periwayatan para perawi yang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang dhabit. Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang tsiqah tadi maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah. Akan tetapi jika si perawi tersebut mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya sebatas dari buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.
Kedua: Menguji perawi.
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya. Diantaranya juga adalah membolak-balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menguji perawi, sebagian ulama mengharamkannya seperti Yahya bin Sa’id Al Qathan dan sebagian lagi melakukannya seperti Syu’bah dan Yahya bin Ma’in. Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus menerus dilakukan pada seorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengetahui derajat seorang perawi dengan waktu yang cepat.
Hal hal yang meniadakan kedlabitan.
Ada tujuh perkara yang merusak kedlabitan perawi hadits, yaitu:
1. Katsrotul Wahm: Yaitu perawi banyak melakukan wahm (kesalahan karena kurangnya menguasai) seperti memursalkan hadits yang harusnya mausul. Atau memuqufkan hadits yang seharusnya marfu dan sebaliknya.
2. Seringkali menyelisihi periwayatan perawi lain yang lebih tsiqoh.
3. Buruk hafalan, yaitu sisi salahnya tidak dapat mengalahkan sisi benarnya, artinya dua kemungkinan itu sama sama kuat.
4. Fuhsyul gholath. Yaitu kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits jauh lebih banyak dari periwayatannya yang benar.
5. Syiddatul ghoflah. Yaitu perawi tidak memiliki kepiawaian untuk membedakan mana riwayatnya yang benar dan mana yang salah.
6. Terlalu longgar dalam catatannya sehingga ia tidak berusaha membetulkan kesalahannya atau membandingkannya dengan kitab asal, ini khusus untuk dlobit kitab.
7. Tidak memiliki ilmu tentang apa saja yang merusak makna hadits. Ini khusus ketika meriwayatkan secara makna.